Tempo Edisi Khusus Soeharto:Setelah Dia Pergi

Majalah Tempo Edisi Khusus Soeharto

Jakarta,1966. Soekarno yang memerintah enam tahun dengan Demokrasi Terpimpin yang gegap gempita itu digantikan oleh seorang tentara pendiam. Ia tampan, di tangannya ada selembar surat mandat berkuasa: Supersemar.
Sejak itu, bahkan berpuluh-puluh tahun berselang,setelah jenazahnya dikebumikan ada nostalgia yang selalu membuat orang rindu akan stabilitas yang dibangunnya dulu, manakala demokrasimenimbulkan riak-riak ketidakpastian: munculnya raja-raja kecil di daerah, kebebasan berekspresi yang berisik, dan para oportunitis mendominasi panggung-panggung kekuasaan. Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto tentu sajaj mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat baik maupun buruk, ia melakukannya silih berganti. Namun ada proses yang seakan-akan terus menerus berlangsung di masa pemerintah yang panjangnya hanya bisa dikalahkan oleh pemimpin Kuba Fidel Castro itu, yaitu sentralisasi, bahkan kemudian personalisasi dengan sosok Soeharto sebagai nukleus sentral seluruh negeri. Para pengamat budaya sering membandingkan pemerintah Orde Baru dengan kerajaan Jawa Mataran, sistem politik dengan konsep yang menempatkan raja sebagai pusat kekuasaan yang menghimpun segenap kekuatan kosmis. Raja adalah sosok sakti, dalam tradisi Jawa, demikian Benedict Anderson dalam bukunya yang klasik The Idea of Power in Javanese Culture,legitimasi tidak datang dari manusia. Dengan kesaktiannya sang ratu bisa menaklukkan manusia lain di sekitarnya. Dan Soeharto, sadar atau tidak, tampaknya yakin dialah titikpusat itu.

Link Download
Previous
Next Post